Download Birds of Prey (2020) (4/5)
Sunday, October 24, 2021
Add Comment
RottenTomatoes: 81% | IMDb : 6,8/10 | Metascore: 60/100 | : 4/5
Rated: R
Directed by Cathy Yan ; Produced by Margot Robbie, Bryan Unkeless, Sue Kroll ; Written by Christina Hodson ; Based on Birds of Prey by Jordan B. Gorfinkel, Chuck Dixon ; Harley Quinn by Paul Dini, Bruce Timm ; Starring Margot Robbie, Mary Elizabeth Winstead, Jurnee Smollett-Bell, Rosie Perez, Chris Messina, Ella Jay Basco, Ali Wong, Ewan McGregor ; Music by Daniel Pemberton ; Cinematography Matthew Libatique ; Edited by Jay Cassidy, Evan Schiff ; Production company DC Films, LuckyChap Entertainment, Kroll & Co. Entertainment, Clubhouse Pictures ; Distributed by Warner Bros. Pictures ; Release date February 7, 2020 (United States) ; Running time109 minutes ; Country United States ; Language English ; Budget $84.5 million
Story / Cerita / Sinopsis :
Selepas putus dengan kekasihnya, Joker, atau yang biasa ia panggil Pudding / Mr. J, Harley Quinn (Margot Robbie) harus berhadapan dengan seisi kota yang kini mengincarnya. Termasuk di antaranya adalah bos mafia Roman Sionis (Ewan McGregor).
Review / Resensi :
Belakangan Hollywood memang lagi gencar-gencarnya memproduksi film-film bertemakan girl power, walau ya harus diakui tidak semua filmnya sukses dan diterima dengan baik (contoh: female version of Ghostbusters dan new Charlie's Angels). Tahun 2020 ini tampaknya adalah tahun para perempuan karena film-film populer yang mengusung semangat ini akan banyak bermunculan, sebut saja live-action Mulan, Black Widow, dan WW 1984. Birds of Prey (and The Fantabulous Emancipation of One Harley Quinn) yang disutradarai oleh sutradara perempuan berdarah Asia Cathy Yan menjadi film pembuka yang rilis di awal Februari ini, dan kemudian memunculkan dua kubu: mereka yang suka dan mereka yang tidak suka. Saya sebenarnya penasaran karena beberapa reviewer yang saya ikuti di twitter dan facebook mengatakan bahwa Birds of Prey cukup mengecewakan, tapi kemudian saya lihat skor awal di Rotten Tomatoes cukup baik hingga mencapai 89% (sebelum akhirnya turun lagi menjadi 82% saat saya menulis review ini). Dan ketika saya menontonnya sendiri, ternyata saya cukup menyukai film ini. Walau tidak sempurna, Birds of Prey adalah tipikal film yang fun, ringan, penuh keceriaan, dan tetap menyenangkan untuk disaksikan berulang kali.
Salah satu kekurangan besar film ini yang lalu diprotes oleh para fansnya adalah karena film ini terlalu fokus pada sosok Harley Quinn (Margot Robbie), sementara judulnya sendiri Birds of Prey - yang merupakan kumpulan jagoan cewek DC. Karakter-karakter lain seperti Black Canary/Dina Lance (Jurnee Smollet-Bell), Renee Montoya (Rosie Perez) dan Huntress (Marie Elizabeth Winstead) seolah-olah hanya hadir sekedar menjadi pelengkap dalam kisah Harley Quinn. Ga salah sih emang, dari trailernya dan marketing, film ini memang menonjolkan Harley Quinn sebagai tokoh utama dalam film ini. DC dan WB tampaknya tahu bahwa pesona Harley Quinn layak dimanfaatkan setelah pertama kali muncul di Suicide Squad (dan satu-satunya hal paling menarik dalam film tersebut). Margot Robbie bahkan yang menjadi produser utama film ini sendiri. Walau banyak yang protes, saya sih ga mempermasalahkan sama sekali karena saya bukan penggemar komiknya. Malah saya cenderung menyukai proses pendekatan yang dilakukan Birds of Prey dalam menghadirkan dan menyatukan karakter-karakter tersebut di film ini.
Suicide Squad dan Justice League adalah contoh produk gagal DCEU yang salah satu alasan kegagalannya (menurut saya) adalah proses menyatukan karakter-karakter yang ada. Justice League gagal karena mereka gagap dalam memperkenalkan karakter baru seperti Flash dan Cyborg (dan juga Aquaman), lalu menyatukan superhero itu dalam satu tim dengan Batman, Wonder Woman dan Superman (yang masih perlu dibangkitkan dari kubur) dengan misi akbar menyelamatkan dunia. Sedangkan Suicide Squad tampak kewalahan menyatukan bagaimana seharusnya antihero (atau villain?) bersatu. Sementara itu, pada Birds of Prey, uniknya justru baru menyatukan para jagoannya dalam paruh akhir filmnya - berkat Harley Quinn, dalam sebuah kebetulan. Jadi lebih tepatnya ini bisa dibilang bagaimana Harley Quinn tidak sengajat membentuk Birds of Prey. Dan itulah mengapa, tampaknya banyak orang akan merasa naskah film ini sedikit berantakan dan kurang kuat dalam mengenalkan karakter-karakter lain yang menjadi anggota Birds of Prey. Tapi, menurut saya setiap karakter masih punya karakterisasi dan latar belakang yang cukup baik, sehingga biarpun screentime-nya ga sebanyak Harley Quinn, tapi masih punya daya tarik yang menarik (walau harusnya masih bisa digali lebih dalam lagi).
Menonton Birds of Prey seperti diajak masuk ke jalan pikiran Harley Quinn yang chaotic. Ia mungkin akan mengingatkanmu pada kawan perempuanmu yang berisik tapi selalu punya cerita seru, penuh percaya diri, genit, dan sedikit gila. Narasi Birds of Prey memang sedikit melompat-lompat, seperti kamu tengah mendengarkan seseorang bercerita dengan penuh semangat tapi saking semangatnya ceritanya tidak runtut dan membingungkan. Tapi itu semua sepadan dengan keseruan yang diceritakannya, dan sekali lagi, kita bisa memaklumi karena teman perempuan kita ini memang sedikit gila. Saya juga menyukai seluruh tone yang dihadirkan Birds of Prey: beneran mencirikan seorang Harley Quinn. Scoring music yang berisik tapi asyik, visual eye-candy yang ramai dan penuh warna, hingga action scene yang ceria. Kabarnya action scene-nya dibantu oleh kru yang ngegarap John Wick, dan menghasilkan action scene didominasi pertarungan tangan yang lumayan asyik. Harley Quinn tampil bak pemain sirkus yang penuh gerakan akrobatik dengan senjata sederhana semacam tongkat kasti, atau sambil bermain sepatu roda. Yaaaahh.. memang enggak sampai sekeren John Wick sih, tapi saya suka action scenenya yang cukup beragam dan berbeda-beda, seperti pesta penuh konfetti kala Harley Quinn menyerbu kantor polisi, atau pertarungan akhir di taman bermain. Saya juga cukup menyukai bahwa Birds of Prey dengan rated R-nya cukup pandai memainkan karakter Harley Quinn sebagai seorang antihero (atau sebuah transisi dari villain menjadi antihero). Ia melawan Roman Sionis bukan sama sekali dengan misi baik hati hendak menyelamatkan Gotham City, tapi ya murni karena terpaksa (karena kalau tidak ia sendiri yang akan celaka). Btw, saya menyukai vibe Birds of Prey secara keseluruhan, sehingga jika vibe ini dibawa kembali di The Suicide Squad-nya James Gunn, saya sama sekali nggak keberatan.
Dengan subjudul "emancipation", menarik bahwa sebagian fanboy langsung antipati dan salah paham. Bahkan saya baca seorang netijen menyebut bahwa ia sama sekali tidak menangkap esensi emansipasi yang dimaksud dari Birds of Prey, dan sebagiannya lagi menganggap tema ini maksa. Errrrr... saya tidak tahu apa memang ada gap pengetahuan antara lelaki dan perempuan sehingga menjadikan penilaian sedemikian berbedanya. Ah, entahlah, saya memang sedikit sensitif dengan isu ini (tidak ada yang lebih menyebalkan daripada fanboy-fanboy sok edgy yang anti SJW dan membenci Brie Larson tanpa benar-benar paham apa yang sebenarnya terjadi). Saya rasa sudah cukup jelas Birds of Prey ini membawa isu "bebas dari toxic relationship". Harley Quinn, ingin membuktikan diri bahwa selepas dari toxic relationship-nya dengan Joker, ia bisa melindungi dirinya sendiri dan tidak perlu tergantung lagi pada mantan kekasihnya. Karakter Montoya juga menggambarkan itu, tak mudah menjadi detektif wanita di lingkungan kerja maskulin seperti kepolisian, dan ia memutuskannya di bagian akhir: ia tidak butuh pengakuan dari lelaki. Saya rasa tema ini juga ditampilkan secara halus dan ga maksa (at least ga semaksa adegan perempuan-perempuan superhero Marvel ngumpul secara kebetulan yang janggal di adegan pertarungan akhir Avengers: Endgame). But hey, apakah sebagian penonton pria tampaknya masih menyukai karakter perempuan tangguh (dan cantik dan seksi) yang masih butuh perlindungan lelaki dan kalo bisa ga ngalahin maskulinitas lelakinya?? (anyway, fun fact, entah nyambung atau enggak, ada penelitian yang menunjukkan bahwa ada kecenderungan lelaki mengakui mengagumi perempuan yang lebih cerdas, tapi dalam "jarak jauh". Artinya, ia dan tidak ingin menjadikannya sebagai pasangan. Artinya lagi, lelaki suka dengan perempuan pintar, tapi kalo bisa tidak lebih pintar darinya).
Pada akhirnya, Birds of Prey bukan tanpa kekurangan. Sebagian orang mengeluhkan villain yang begitu mudah untuk dikalahkan. Saya sebenarnya menyukai karakter Roman Sionis / Black Mask (Ewan McGregor) di sini, dan hubungannya dengan Victor Zsasc (Chris Messina). Saya rasa Birds of Prey yang naskahnya ditulis oleh Christina Hodson ini ingin menunjukkan keduanya sebagai male chauvinist (ingat adegan ketika Sionis memaksa seorang perempuan melepas gaunnya?) - terlepas bahwa Sionis sendiri sedikit feminim dan kemungkinan punya hubungan spesial dengan Zsasc. Tapi ya memang adegan akhirnya sedikit antiklimaks. Saya tahu Black Mask disini lebih ke arah bos mafia daripada punya kekuatan sendiri, tapi seenggaknya kita butuh adegan intens yang lebih seru di bagian akhirnya. Selain itu, biarpun filmnya memang fun untuk ditonton, tapi ya memang sebatas fun itu saja... Selepas beberapa hari setelah menonton film ini, saya menyadari bahwa Birds of Prey bukanlah film yang cukup memorable..
Menonton Birds of Prey seperti diajak masuk ke jalan pikiran Harley Quinn yang chaotic. Ia mungkin akan mengingatkanmu pada kawan perempuanmu yang berisik tapi selalu punya cerita seru, penuh percaya diri, genit, dan sedikit gila. Narasi Birds of Prey memang sedikit melompat-lompat, seperti kamu tengah mendengarkan seseorang bercerita dengan penuh semangat tapi saking semangatnya ceritanya tidak runtut dan membingungkan. Tapi itu semua sepadan dengan keseruan yang diceritakannya, dan sekali lagi, kita bisa memaklumi karena teman perempuan kita ini memang sedikit gila. Saya juga menyukai seluruh tone yang dihadirkan Birds of Prey: beneran mencirikan seorang Harley Quinn. Scoring music yang berisik tapi asyik, visual eye-candy yang ramai dan penuh warna, hingga action scene yang ceria. Kabarnya action scene-nya dibantu oleh kru yang ngegarap John Wick, dan menghasilkan action scene didominasi pertarungan tangan yang lumayan asyik. Harley Quinn tampil bak pemain sirkus yang penuh gerakan akrobatik dengan senjata sederhana semacam tongkat kasti, atau sambil bermain sepatu roda. Yaaaahh.. memang enggak sampai sekeren John Wick sih, tapi saya suka action scenenya yang cukup beragam dan berbeda-beda, seperti pesta penuh konfetti kala Harley Quinn menyerbu kantor polisi, atau pertarungan akhir di taman bermain. Saya juga cukup menyukai bahwa Birds of Prey dengan rated R-nya cukup pandai memainkan karakter Harley Quinn sebagai seorang antihero (atau sebuah transisi dari villain menjadi antihero). Ia melawan Roman Sionis bukan sama sekali dengan misi baik hati hendak menyelamatkan Gotham City, tapi ya murni karena terpaksa (karena kalau tidak ia sendiri yang akan celaka). Btw, saya menyukai vibe Birds of Prey secara keseluruhan, sehingga jika vibe ini dibawa kembali di The Suicide Squad-nya James Gunn, saya sama sekali nggak keberatan.
Dengan subjudul "emancipation", menarik bahwa sebagian fanboy langsung antipati dan salah paham. Bahkan saya baca seorang netijen menyebut bahwa ia sama sekali tidak menangkap esensi emansipasi yang dimaksud dari Birds of Prey, dan sebagiannya lagi menganggap tema ini maksa. Errrrr... saya tidak tahu apa memang ada gap pengetahuan antara lelaki dan perempuan sehingga menjadikan penilaian sedemikian berbedanya. Ah, entahlah, saya memang sedikit sensitif dengan isu ini (tidak ada yang lebih menyebalkan daripada fanboy-fanboy sok edgy yang anti SJW dan membenci Brie Larson tanpa benar-benar paham apa yang sebenarnya terjadi). Saya rasa sudah cukup jelas Birds of Prey ini membawa isu "bebas dari toxic relationship". Harley Quinn, ingin membuktikan diri bahwa selepas dari toxic relationship-nya dengan Joker, ia bisa melindungi dirinya sendiri dan tidak perlu tergantung lagi pada mantan kekasihnya. Karakter Montoya juga menggambarkan itu, tak mudah menjadi detektif wanita di lingkungan kerja maskulin seperti kepolisian, dan ia memutuskannya di bagian akhir: ia tidak butuh pengakuan dari lelaki. Saya rasa tema ini juga ditampilkan secara halus dan ga maksa (at least ga semaksa adegan perempuan-perempuan superhero Marvel ngumpul secara kebetulan yang janggal di adegan pertarungan akhir Avengers: Endgame). But hey, apakah sebagian penonton pria tampaknya masih menyukai karakter perempuan tangguh (dan cantik dan seksi) yang masih butuh perlindungan lelaki dan kalo bisa ga ngalahin maskulinitas lelakinya?? (anyway, fun fact, entah nyambung atau enggak, ada penelitian yang menunjukkan bahwa ada kecenderungan lelaki mengakui mengagumi perempuan yang lebih cerdas, tapi dalam "jarak jauh". Artinya, ia dan tidak ingin menjadikannya sebagai pasangan. Artinya lagi, lelaki suka dengan perempuan pintar, tapi kalo bisa tidak lebih pintar darinya).
Pada akhirnya, Birds of Prey bukan tanpa kekurangan. Sebagian orang mengeluhkan villain yang begitu mudah untuk dikalahkan. Saya sebenarnya menyukai karakter Roman Sionis / Black Mask (Ewan McGregor) di sini, dan hubungannya dengan Victor Zsasc (Chris Messina). Saya rasa Birds of Prey yang naskahnya ditulis oleh Christina Hodson ini ingin menunjukkan keduanya sebagai male chauvinist (ingat adegan ketika Sionis memaksa seorang perempuan melepas gaunnya?) - terlepas bahwa Sionis sendiri sedikit feminim dan kemungkinan punya hubungan spesial dengan Zsasc. Tapi ya memang adegan akhirnya sedikit antiklimaks. Saya tahu Black Mask disini lebih ke arah bos mafia daripada punya kekuatan sendiri, tapi seenggaknya kita butuh adegan intens yang lebih seru di bagian akhirnya. Selain itu, biarpun filmnya memang fun untuk ditonton, tapi ya memang sebatas fun itu saja... Selepas beberapa hari setelah menonton film ini, saya menyadari bahwa Birds of Prey bukanlah film yang cukup memorable..
0 Response to "Download Birds of Prey (2020) (4/5)"
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.