Marriage Story (2019) (5/5)


Criminal lawyers see bad people at their best, divorce lawyers see good people at their worst 

RottenTomatoes : 96% | IMDb: 8,3/10 | Metascore: 94 | NikenBicaraFilm: 5/5

Rate : R | Genre : Drama, Comedy

Directed by Noah Baumbach ; Produced by David Heyman, Noah Baumbach ; Written by Noah Baumbach ; Starring Scarlett Johansson, Adam Driver, Laura Dern, Alan Alda, Ray Liotta, Julie Hagerty, Merritt Wever ; Music by Randy Newman ; Cinematography Robbie Ryan ; Edited by Jennifer Lame ; Production companiesHeyday Films ; Distributed by Netflix ; Release dateAugust 29, 2019 (Venice), November 6, 2019 (United States) ; Running time136 minutes ; Country United States ; Language English ; Budget $18 million

Story / Cerita / Sinopsis :
Nicole (Scarlett Johansson) dan Charlie (Adam Driver) adalah sepasang suami istri yang berada di ambang perceraian dan tengah memperebutkan hak asuh anak lelaki mereka. 

Review / Resensi :
Sebelumnya Noah Baumbach telah berhasil membuat film bertemakan perceraian lewat The Squid and The Whale (2007) - yang ngomong-ngomong, merupakan salah satu film drama-komedi favorit saya sepanjang masa. The Squid and The Whale kabarnya terinspirasi dari kisah perceraian kedua orangtua Baumbach sendiri, dan bercerita dari sudut pandang sang anak sebagai korban perpisahan kedua orangtuanya. Kali ini lewat Marriage Story, tampaknya Noah Baumbach menggunakan pengalamannya sendiri kala menjalani proses perceraian dengan sang mantan istri, Jennifer Jason Leigh pada tahun 2010. Jika The Squid and the Whale lebih bernuansa komedi, Marriage Story bertutur dengan cara yang lebih emosional - yang kemungkinan besar membuat siapapun yang menontonnya jadi patah hati, atau mereka yang belum menikah jadi takut kawin.

Sebelumnya, saya akan mengapresiasi terlebih dahulu bagaimana performa luar biasa dari dua aktor utamanya: Adam Driver sebagai Charlie dan Scarlett Johansson sebagai Nicole. Mungkin kebanyakan penonton awam lebih mengenal keduanya lewat film-film populer mereka seperti Avengers atau Star Wars, tapi saya senang ketika publik akhirnya mampu mengenal mereka sebagai aktor dan aktris watak yang baik. Terutama Adam Driver, yang sebelumnya memang lebih terkenal di ranah film-film indie non mainstream. Tentu saja kita akan merasa bahwa akting keduanya memuncak pada unforgettable fighting scene yang konon kabarnya sepenuhnya scripted tanpa improvisasi dan ditake hingga 50 kali. Bagi yang pernah berantem dan adu argumen (dengan pasangan atau bukan), pasti merasa fighting scene ini terasa real dan natural. Bermula dari percakapan yang dimulai baik-baik, tapi entah bagaimana intonasi kemudian menjadi tinggi, dan puncaknya kita mengatakan hal-hal buruk yang tidak seharusnya dikatakan - hanya untuk menyuap ego kita sendiri dan menyakiti lawan argumen. Sial, saya ambyar banget pas adegan ini.

Sebenarnya, tragedi rumah tangga bukan hal baru di dunia perfilman - atau lebih-lebih, sinetron dan telenovela. Ada banyak film serupa, beberapa di antaranya yang cukup populer seperti Revolutionary Road, American Beauty, Blue Valentine atau yang paling mirip-mirip dengan cerita Marriage Story, adalah Kramer vs Kramer. Namun tentu Marriage Story punya kekuatannya sendiri. Saya rasa karena film ini terasa begitu personal, yang tampaknya karena memang berdasarkan kisah hidup sang writer-director Noah Baumbach itu sendiri. Setiap detail kisah yang disampaikan, setiap emosi, setiap dialog, tersusun rapi dan solid yang mengajak penonton untuk menyelami sebuah pengalaman yang menyakitkan yang terasa nyata dan rumit. Namun sebagaimana karya-karya Baumbach yang lain, Marriage Story tidak jatuh pada cerita yang kelewat sentimentil, depresif, dan melelahkan sebagaimana Revolutionary Road atau Blue Valentine. Lewat karakter-karakter pendukung seperti pengacara seksi Nora Fanshaw (Laura Dern), pengacara menyebalkan Jay Marotta (Ray Liotta), hingga keluarga Nicole, Baumbach masih mampu memberikan nuansa komedik yang membuat kita sedikit bisa tertawa lepas.

Salah satu perceraian paling buruk adalah perceraian dengan anak. Terlepas dari bagaimana orangtuanya ingin berpisah baik-baik demi kebaikan sang anak, tentu proses perceraian bukan hal yang mudah untuk dilakukan dan diputuskan. Dalam kasus Charlie dan Nicole, keduanya menginginkan hal yang berbeda selepas bercerai. Nicole ingin kembali ke kota kelahirannya, Los Angeles sementara kehidupan dan mimpi Charlie sepenuhnya di New York. Tentu harus ada satu orang yang berkorban dan mengalah dalam hak asuh anak. Tapi siapa? Proses mediasi yang semula inginnya berjalan damai, dewasa, dan kekeluargaan mendadak harus dilupakan ketika pengacara pernikahan terpaksa dilibatkan. Semuanya berubah menjadi argumentasi sengit dan licik di depan hakim. Menjadi ironi yang konyol ketika keduanya menginginkan hal yang terbaik bagi sang anak, tapi proses perceraian keduanya memakan banyak biaya yang menghabiskan dana pendidikan sang anak. Perceraian memang bisajadi lebih baik dari pernikahan yang tidak bahagia, namun bukan berarti proses perceraian itu sendiri akan berjalan baik-baik saja dan tanpa drama. 

Sebagai pengamat pergosipan artis dari remaja, cerita perceraian adalah hal yang selalu menarik perhatian saya (bukannya saya jahat, tapi gosip begini tentu jauh lebih menarik dari berita artis jalan-jalan ke luar negri atau artis endorse iklan obat anti sembelit). Perceraian terasa sederhana ketika alasan bercerai adalah karena hal-hal yang sifatnya ga bisa ditolerir: ada pihak ketiga (salah satu selingkuh, atau diam-diam poligami), atau kekerasan dalam rumah tangga, atau mungkin sedikit simple: memang sudah ga ada rasa cinta lagi. Tapi seringkali selebriti yang bercerai hanya menjawab diplomatis mengenai penyebab perpisahan kala dikejar wartawan infotainment: "karena sudah tidak ada kecocokan lagi" atau "adanya perbedaan yang tidak lagi bisa dipersatukan". Biasanya hal ini membuat saya - yang kala itu masih awam soal percintaan, sedikit bingung. Jawaban itu sama sekali tidak memuaskan, terasa generik, dan ga menjelaskan apa-apa. Tapi toh pada kenyataannya relationship memang tidak sesederhana dan selugas itu. Kadang kamu bahkan harus mengais-ngais sejumlah alasan bahwa sebuah hubungan memang harus berakhir. Marriage Story adalah contoh film kenapa pernikahan harus berakhir dengan alasan "diplomatis" dan "general" itu: karena sudah tidak adanya kecocokan lagi (atau dalam hal ini, Nicole yang merasa demikian). Dan yang paling bikin frustasi dari film ini: perasaan cinta itu mungkin tidak sepenuhnya menghilang, tapi ya memang hubungan pernikahan mereka harus berakhir. 

Bagi yang kebingungan mengenai penyebab perceraian mereka, ijinkan saya untuk menguraikannya (koreksi kalo salah). Sebagai seorang istri dan perempuan, saya cukup memahami posisi Nicole sebagai penggugat perceraian. Menikahi seorang lelaki jenius dan sukses bisa jadi adalah impian kebanyakan perempuan, namun bukan berarti hal ini tidak mengorbankan sesuatu. Charlie adalah seorang sutradara teater berbakat (Nicole menyebutnya "self-made", seseorang yang sukses berkat kerja kerasnya sendiri). Nicole mendukung karir suaminya, ia menjadi aktris di teater milik suaminya - namun ia mendadak merasa limbung ketika menyadari ia kehilangan jati dirinya. Semua hal dalam hidupnya seolah-olah adalah milik dan keinginan Charlie. Nicole kemudian tiba di sebuah titik dimana ia menyadari bahwa ia tidak sepenuhnya bahagia, dan ia menginginkan sesuatu hal lain - yang kali ini untuk kebahagiaan dirinya sendiri. Belum lagi ketika ia kemudian mengambil peran sekaligus menjadi seorang ibu, yang artinya ia harus lebih mengalah lagi dalam meraih hal yang ia inginkan. Walaupun ia sendiri, seperti sebagaimana ia ucapkan di awal film, tampaknya memang selama ini kesulitan untuk mengetahui apa yang benar-benar ia inginkan. Saya rasa permasalahan Nicole ini akan terasa feel related dengan istri-istri di mana saja: impian kita kaum perempuan kalau bisa sesuai dengan impian suami. Suami adalah imam keluarga, jadi istri harus ngikut kemauan suami. Belum lagi tuntutan menjadi seorang ibu sempurna jauh lebih besar daripada menjadi seorang ayah, sebagaimana yang diucapkan Nora Fanshaw mengenai konsep ibu dan Bunda Maria ("You [Nicole] have to be perfect, and Charlie can be a fuck up and it doesn't matter").    

Kebanyakan orang merasa bahwa Marriage Story bukan sebuah film tentang siapa benar atau siapa yang salah, karena perspektif kedua suami istri dimasukkan ke dalam film ini. Namun, sulit buat saya untuk tidak memihak Charlie dalam perkara ini (padahal ia sempat selingkuh, dan mungkin ini merujuk pada hubungan Noah Baumbach dan Greta Gerwig kala syuting film Greenberg). Mungkin karena saya merasa film ini pada akhirnya lebih dominan bercerita dari sudut pandang Charlie (Adam Driver) dan perjuangannya untuk mendapatkan hak asuh anak - yang kayaknya karena film ini didasarkan dari sudut pandang Noah Baumbach sendiri. Tapi selain itu, terlepas dari saya memahami perasaan Nicole, saya pernah punya pengalaman yang mirip-mirip seperti Charlie hingga kurang lebih saya merasa related dengan kekesalannya. Merasa sebuah hubungan baik-baik saja, namun mendadak pasangan ingin berpisah karena merasa selama ini tidak baik-baik saja. Merasa bahwa selama ini menginginkan hal yang sama, namun tiba-tiba menyadari bahwa pasangan tidak menginginkan hal yang sama lagi. Ini tentu membuatmu terkejut, clueless, dan kemudian mempertanyakan banyak hal, terutama, bagaimana mungkin kamu melewatkan hal sebesar ini? Kenyataan ini dulu sempat membuat saya menyadari satu hal yang menakutkan: kamu bisa merasa mengenal pasanganmu dengan baik, lalu mendadak bammm! ia mengatakan ingin berpisah dan mengungkapkan alasan-alasan yang kamu tidak pernah menyadarinya selama ini. Seolah-olah sebelumnya kalian menjalin hubungan yang berbeda dan kamu merasa tidak lagi mengenal pasanganmu. Walaupun tidak diceritakan dalam film ini saat-saat pertama Nicole dan Charlie memutuskan untuk berpisah, saya merasa Nicole sedikit tidak adil karena meninggalkan Charlie dalam keadaaan clueless (walau bisa jadi selama ini Nicole sudah memberikan petunjuk, namun Charlie tidak pernah cukup peka untuk membacanya). 

Anyway, apakah kamu termasuk yang jadi takut nikah setelah menonton film ini? Saya sendiri ga takut, karena sudah terlanjur kawin. Haha. Tapi saya rasa ketakutan itu hal yang wajar - setidaknya rasa takut bikin kita berhati-hati dalam memilih pasangan atau memperlakukan pasangan. Saya sendiri menikah di usia tigapuluh, usia yang seenggaknya cukup tahu bahwa cinta sejati nan sempurna itu cuma ada di genre film romantis (dan biasanya, di film romantis medioker yang memang ditujukan untuk membuai kita kaum perempuan). Saya tahu bahwa hal-hal yang terjadi di Marriage Story ini adalah hal lumrah yang bisa terjadi pada siapa saja. Maka saran saya, yang baru menikah seumur jagung dan tidak selayaknya sarannya kamu dengarkan pula, bagi kamu yang belum menikah... cari seseorang yang membuatmu jatuh cinta dan cinta denganmu pula, pastikan ia orang baik-baik, lalu berharap saja yang terbaik, karena memang cuma itu yang bisa kita lakukan.

*oh ya, btw saya sukaaaaa banget opening sequence film ini yang berhasil menghangatkan hati saya. Saat Charlie dan Nicole mengungkapkan alasan-alasan sepele yang mereka sukai dari pasangan masing-masing. Hal-hal yang nyaris remeh dan biasa saja, tapi justru terasa manis. Bikin saya ingin menuliskan hal-hal seperti ini kepada suami saya (dan berharap setelahnya rayuan ini berhasil membujuknya untuk membelikan saya skincare). Tapi ya, scene setelahnya - bahwa mereka akan bercerai dan salah satu pihak sudah tidak ingin rujuk sama sekali, sungguh menyedihkan. Mungkin opening scene ini hadir untuk langsung mengingatkan kita bahwa kenangan manis tentang pasangan itu bisa saja tetap ada dan tidak pernah pudar, tapi bagaimanapun juga, hubungan harus tetap berakhir....

0 Response to "Marriage Story (2019) (5/5)"

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel